Kamis, 09 Juli 2009

KONFLIK DAN RESOLUSI KONFLIK


Teori Konflik : Penjelasan

Benturan sosial demi benturan sosial berlangsung dengan mengambil bentuk aneka-rupa serta menyentuh hampir di segala aspek (frame of conflict) kehidupan masyarakat (konflik agraria, sumberdaya alam, nafkah, ideologi, identitas-kelompok, batas teritorial, dan semacamnya). Satu hal yang perlu dicatat adalah apapun bentuk benturan yang berlangsung akibat dari konflik sosial maka akibatnya akan selalu sama yaitu tekanan sosial, kepedihan (bitterness), disintegrasi sosial yang seringkali juga disertai oleh musnahnya aneka aset-aset material dan non-material.

Kehancuran aset non-material yang paling kentara ditemukan dalam wujud “dekapitalisasi” modal sosial yang ditandai oleh hilangnya trust di antara para-pihak yang bertikai, rusaknya networking, dan hilangnya compliance pada tata aturan norma dan tatanan sosial yang selama ini disepakati bersama-sama. Seolah semua yang telah dengan susah payah dibangun dan ditegakkan oleh masing-masing warga yang bertikai, dengan mudah diakhiri begitu saja karena konflik sosial.

Pendefinisian teori konflik sendiri dilakukan untuk memberikan batasan ruang lingkup dan ragam konflik sehingga konflik sebagai fenomena sosial dapat diletakkan dalam perspektif yang tepat. Tinjauan teori konflik akan mengetengahkan sejumlah pengamatan. Pertama, ada banyak sekali literatur yang ditulis tentang sifat dan teori konflik, terutama yang berhubungan dengan peperangan. Kedua, kurangnya kesepakatan atau konsensus antara pandangan kontemporer dan historis mengenai konflik manusia. Ketiga, di antara literatur yang sangat erat kaitannya dengan para ahli teori ilmu politik, ada beberapa dikotomi yang mengarah ke pencarian paradigma yang dominan.

Dikotomi pertama berkenaan dengan sifat konflik. Dougherty dan Pfaltzgraff menjelaskan masalah tersebut: Para ilmuwan sosial terbagi dalam persoalan apakah konflik sosial harus dipandang sebagai sesuatu yang rasional, konstruktif, dan berfungsi secara sosial, atau sesuatu yang irasional, patologis, dan tidak berfungsi secara sosial. Hal ini menimbulkan akibat-akibat yang penting, terutama untuk resolusi konflik. Juga ada polaritas yang nyata dalam pendekatan-pendekatan teoritisnya.

Ada dua pendekatan yang berlawanan: pendekatan klasik dan pendekatan behavioris.Pendekatan klasik memusatkan diri pada analisis tataran makro. Perhatiannya tertumpu pada analisa interaksi antar kelompok. Kelompok-kelompok ini dapat dibagi ke dalam berbagai sempalan berdasar, antara lain: nasional, institusional, etnis, kelas, dan ideologis. Ahli teori klasik menaruh perhatian pada interaksi antar kelompok pada tataran sadar (conscious level). Sedangkan kaum behavioris memusatkan diri pada tataran mikro, dengan individu, bukan kelompok, sebagai unit kajiannya. Kaum behavioris mengkaji faktor ketidaksadaran (the unconscious) untuk memahami faktor-faktor motif yang tak terungkapkan. Dougherty dan Pfaltzgraff (1981:37) menggambarkan metode-metode penelitian yang lain: kaum behavioris lebih menyukai mengisolasi sedikit variabel dan menganalisa banyak kasus untuk menentukan hubungan antar variabel itu. Sebaliknya, kaum tradisionalis (klasik) lebih sering mengkaji semua variabel yang dianggap dapat berpengaruh terhadap hasil (outcome) sebuah kasus.

Konflik menyebabkan terjadinya interaksi pada tataran yang lebih serius dari sekedar kompetisi. Meskipun, sebagaimana yang dinyatakan Schelling, konflik, kompetisi, dan kerjasama (cooperation) pada dasarnya saling berkaitan, konflik terjadi manakala tujuan, kebutuhan, dan nilai-nilai kelompok-kelompok yang bersaing bertabrakan dan akibatnya terjadilah agresi, walaupun belum tentu berbentuk kekerasan.

Manajemen Konflik : Definisi

Manajemen konflik merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara pelaku maupun pihak luar dalam suatu konflik. Manajemen konflik termasuk pada suatu pendekatan yang berorientasi pada proses yang mengarahkan pada bentuk komunikasi dari pelaku maupun pihak luar dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan (interests) dan interpretasi. Bagi pihak luar sebagai pihak ketiga, yang diperlukan adalah informasi yang akurat tentang situasi konflik. Hal ini karena komunikasi efektif di antara pelaku dapat terjadi jika ada kepercayaan terhadap pihak ketiga.

Menurut Ross, manajemen konflik merupakan langkah-langkah yang diambil para pelaku atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan perselisihan ke arah hasil tertentu yang mungkin atau tidak mungkin menghasilkan suatu akhir berupa penyelesaian konflik dan mungkin atau tidak mungkin menghasilkan ketenangan, hal positif, kreatif, bermufakat, atau agresif. Manajemen konflik dapat melibatkan bantuan diri sendiri, kerjasama dalam memecahkan masalah (dengan atau tanpa bantuan pihak ketiga) atau pengambilan keputusan oleh pihak ketiga.

Faktor-Faktor Penyebab Konflik

Ada beberapa faktor yang bisa kita analisis sebagai penyebab atau paling tidak pemicu terjadinya suatu konflik. Pertama, karena ambisi untuk menunjukkan eksistensi dan pamer kekuatan (power showing).Woodrow Wilson mengatakan pada saat Perang Dunia I bahwa perang yang dia lakukan bertujuan untuk mengakhiri semua peperangan (war to end all wars). Sementara George.W Bush mengatakan bahwa perang melawan terorisme adalah perang untuk menghapuskan kejahatan (wipe out evil).Pada hakikatnya semua ingin menyalurkan eksistensi diri dan identitas politik di mata dunia internasional. Kemudian mengklaim bahwa tindakan mereka sendirilah yang benar. Faktor ini juga termasuk faktor penting penyebab konflik politik (revolusi, kudeta) ataupun fenomena ethnic cleansing dan genocide yang beberapa dekade ini cukup marak di dunia.

Kedua, konflik dan perang adalah bisnis model baru yang sangat menguntungkan. Cukup mengagetkan bahwa Amerika sebagai negara yang paling banyak terlibat konflik dan perang, ternyata juga sebagai penjual senjata paling besar di dunia. Irak sebagai musuh tetap Amerika dalam beberapa dekade ini mencatatkan diri sebagai negara pengimpor senjata terbesar di dunia. Tak bisa kita pungkiri bahwa perang adalah merupakan bisnis besar. Selain keuntungan penjualan senjata, juga kekayaan alam bisa jadi daya tarik lain. Bukan suatu rahasia lagi bahwa Amerika juga mengagendakan eksplorasi minyak dalam setiap keterlibatan konflik dengan negara lain, khususnya negara di wilayah Timur Tengah.

Faktor yang ketiga adalah faktor kemiskinan, ketidakadilan, dan gap sosial yang terlalu besar. Negara miskin lebih besar memiliki peluang konflik dibandingkan negara kaya (dengan perbandingan tiga banding satu). Sekjen PBB Kofi Annan menambahkan dalam salah satu pidatonya bahwa selain faktor kemiskinan, adanya ketidakadilan dan gap sosial-ekonomi yang cukup besar termasuk penyebab konflik yang penting.

Teori Konflik Mikro dan Teori Konflik Makro

Asumsi kaum behavioris yang paling penting adalah keyakinan bahwa akar penyebab perang itu terletak pada sifat dan perilaku manusia; dan keyakinan bahwa ada hubungan yang erat antara konflik intrapersonal dan konflik yang merambah tatanan sosial eksternal. Penganut behavioris berusaha mengukuhkan apakah manusia memiliki karakteristik biologis atau psikologis yang akan membuat kita melakukan tindakan cenderung ke arah agresi atau konflik. Mereka juga berusaha menyelidiki hubungan antara individu dan keberadaannya di lingkungannya. Di antara teori-teori mikro yang paling umum/lazim yang ada adalah: perilaku hewani (animal behavior), teori agresi bawaan/instinktif (instinct or innate theories of aggression), teori agresi frustasi, teori pembelajaran social dan teori identitas sosial.

Teori makro memusatkan perhatian pada interaksi kelompok-kelompok, terutama pada tataran sadar. Para ahli teori politik awal, dari Thucidydes dan Sun Tzu sampai Machiavelli dan Von Clausewitz, telah memilih satu unsur tertentu sebagai pusat perhatian yaitu kekuasaan. Memakai dan menjalankan kekuasaan adalah konsep utama teori konflik makro. Para ahli teori makro sependapat bahwa kekuasaan itu datang dalam berbagai bentuk: ekonomi, politik, militer, bahkan budaya. Asumsi umum makro, atau teori klasik adalah bahwa akar konflik berasal dari persaingan kelompok dan pengejaran kekuasaan dan sumber-sumber. Diantara teori-teori makro yang paling umum yang ada adalah : Teori pencegahan (detterence theory), Teori pengambilan keputusan (decision making theory), dan Teori permainan (game theory).

Teori Konflik Fusi merupakan jawaban atas ketidakmampuan teori makro atau teori mikro saja dalam menjelaskan konflik yang terjadi. Melalui teori konflik fusi ini terlahirlah Teori Sistem Musuh (Enemy System Theory/EST), Teori Kebutuhan Manusia (Human Needs Theory/HNT) dan Teori Resolusi Konflik (Conflict Resolution Theory).

Resolusi Konflik

Resolusi konflik merupakan sebuah terminologi ilmiah yang penekanannya lebih melihat bahwa perdamaian merupakan suatu proses terbuka dan melakukan pembagian proses penyelesaian konflik dalam beberapa tahapan yang sesuai dengan dinamika siklus konflik. Penjabaran tahapan proses resolusi konflik dibuat untuk empat tujuan. Pertama, konflik tidak boleh hanya dipandang sebagai suatu fenomena politik-militer, namun harus dilihat sebagai suatu fenomena sosial. Kedua, konflik memiliki suatu siklus hidup yang tidak berjalan linear. Siklus hidup suatu konflik yang spesifik sangat tergantung dari dinamika lingkungan konflik yang spesifik pula. Ketiga, sebab-sebab suatu konflik tidak dapat direduksi ke dalam suatu variabel tunggal dalam bentuk suatu proposisi kausalitas bivariat.

Profesor Burton melakukan pembedaan antara resolusi konflik, manajemen dan penyelesaian (settlement). Manajemen menurutnya merupakan sebuah proses dengan kecakapan resolusi perselisihan alternatif (by alternative dispute resolution skills) dan dapat menampung atau membatasi konflik; sementara settlement adalah progres dengan proses wewenang dan hukum (by authoritative and legal processes) dan dapat dipaksakan oleh kelompok elit.

Secara empirik, resolusi konflik dilakukan dalam empat tahap. Tahap pertama masih didominasi oleh strategi militer yang berupaya untuk mengendalikan kekerasan bersenjata yang terjadi. Tahap kedua memiliki orientasi politik yang bertujuan untuk memulai proses re-integrasi elit politik dari kelompok-kelompok yang bertikai. Tahap ketiga lebih bernuansa sosial dan berupaya untuk menerapkan problem-solving approach. Tahap terakhir memiliki nuansa kultural yang kental karena tahap ini bertujuan untuk melakukan perombakan-perombakan struktur sosial-budaya yang dapat mengarah kepada pembentukan komunitas perdamaian yang langgeng.

Tahapan Resolusi Konflik

  1. Tahap Pertama : Mencari De-eskalasi Konflik

Tahapan pertama, konflik yang terjadi masih diwarnai oleh pertikaian bersenjata yang memakan korban jiwa sehingga pembawa resolusi konflik berupaya untuk menemukan waktu yang tepat untuk dapat memulai proses resolusi konflik. Tahapan ini masih berurusan dengan adanya konflik bersenjata sehingga proses resolusi konflik terpaksa harus bergandengan tangan dengan orientasi-orientasi militer. Proses resolusi konflik baru dapat dimulai jika mulai didapat indikasi bahwa pihak-pihak yang bertikai akan menurunkan tingkat eskalasi konflik.

  1. Tahap Kedua : Intervensi Kemanusiaan dan Negosiasi Politik
    Setelah de-eskalasi konflik terjadi, maka tahap kedua proses resolusi konflik dapat dimulai bersamaan dengan penerapan intervensi kemanusiaan untuk meringankan beban penderitaan korban-korban konflik. Dapat dikatakan bahwa tahap ini kental dengan orientasi politik yang bertujuan untuk mencari kesepakatan politik (political settlement) antara aktor-aktor yang berkonflik.
  1. Tahap Ketiga : Proses dengan melakukan Pendekatan Problem-solving
    Tahapan ketiga dari proses resolusi konflik adalah problem-solving yang memiliki orientasi sosial. Tahap ini diarahkan menciptakan suatu kondisi yang kondusif bagi pihak-pihak antagonis untuk melakukan transformasi suatu konflik yang spesifik ke arah penyelesaian.Transformasi konflik dapat dikatakan berhasil jika dua kelompok yang bertikai dapat mencapai pemahaman timbal-balik (mutual understanding) tentang cara untuk mengeskplorasi alternatif-alternatif penyelesaian konflik yang dapat langsung dikerjakan oleh komunitas.
  1. Tahap 4 : Usaha-usaha Yang Diarahkan pada Peace-building
    Tahap keempat adalah peace-building yang meliputi tahap transisi, tahap rekonsiliasi dan tahap konsolidasi. Tahap ini merupakan tahapan terberat dan akan memakan waktu paling lama karena memiliki orientasi struktural dan kultural.

KONFLIK AMERIKA SERIKAT DAN IRAN

Amerika Serikat

Amerika Serikat (disingkat A.S.) atau United States of America (U.S.A.) adalah sebuah republik federal yang terdiri dari 50 negara bagian. Kecuali Alaska (utara Kanada) & Hawaii (lautan Pasifik), 48 negara bagian lainnya terletak di Amerika Utara. Dari segi sejarah, negara ini telah terlibat dalam beberapa perang dunia yang besar, dari Perang 1812 menentang Inggris, dan berpakta pula dengan Inggris sewaktu Perang Dunia I dan Perang Dunia II.

Amerika Serikat dikenal sebagai negara hegemon, superpower yang sering terlibat dalam berbagai konflik dan peperangan. Pada tahun 1960 Amerika terlibat Perang Dingin menentang kekuatan besar yang lain yaitu Soviet serta pengaruh komunisme. Dalam usaha membendung penularan komunisme di Asia, AS dalam Perang Korea, Vietnam dan terakhir di Afganistan. Selepas kejatuhan dan perpecahan Soviet, AS bangkit menjadi sebuah kekuatan ekonomi dan militer yang terkuat di dunia. Sewaktu tahun 1990-an, AS menobatkan dirinya sebagai polisi dunia dan tentaranya beraksi di Kosovo, Haiti, Somalia dan Liberia, dan Perang Teluk Pertama terhadap Irak yang menginvasi Kuwait. Selepas serangan teroris pada 11 September 2001 di World Trade Center dan Pentagon, AS melancarkan serangan balasan terhadap Afganistan dan menjatuhkan negara Taliban di sana dan pada tahun 2003 melancarkan Perang Teluk Kedua terhadap Irak untuk menyingkirkan rezim Saddam Hussein.

Dalam kaitannya berkonflik dengan Iran, terutama yang berkaitan dengan masalah program nuklir Iran salah satunya adalah kritisi Amerika Serikat dimana Amerika Serikat berfokus pada kekuatan dan lawan daripada Iran dalam kepemilikan dan kapabilitas senjata nuklir. Amerika beranggapan bahwa Iran berambisi mempergunakan senjata nuklir untuk mengganggu perdamaian dan keamanan Amerika Serikat, sekutu dan aliansi Amerika Serikat, serta stabilitas di wilayah tersebut. Amerika Serikat melihat Iran menunjukan track record yang bermasalah tentang kepemilikan nuklir, yang ditunjukan sejarah dimana delapan belas tahun Iran beberapa kali mencoba menyembunyikan program pengembangan nuklirnya. Amerika Serikat melihat Iran tidak memberikan tanda-tanda telah membuat keputusan strategis yang diperlukan untuk meninggalkan apa yang disebut dengan program senjata nuklir aktif.

Iran

Iran atau Persia adalah sebuah negara Timur Tengah yang terletak di Asia Barat Daya. Iran adalah salah satu di antara anggota pendiri PBB dan juga epada OKI dan juga GNB. Saat ini Iran menjadi objek perbincangan banyak kalangan, terutama setelah berkonflik dengan negara adikuasa, superpower, hegemon Amerika Serikat tentang kepemilikan nuklir.

Inspektur nuklir Badan Energi Atom Internasional (IAEA) dalam laporan rahasianya menyatakan bahwa telah menemukan jejak baru plutonium dan uranium yang diperkaya, keduanya bahan potensial pembuat hulu ledak senjata nuklir di Iran.
Jejak baru itu mereka temukan dalam wadah-wadah di situs penyimpanan sampah nuklir di Karaj, Iran. Lembaga pemantau nuklir Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tidak dapat memastikan bahwa program nuklir Iran itu untuk tujuan damai.

Program nuklir Iran sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1959 pada waktu Shah Iran berkuasa, dengan pembelian reaktor untuk riset dari Amerika Serikat. Setelah revolusi tahun 1979, semua kegiatan nuklir dihentikan dan baru dimulai lagi setelah perang Iran-Irak selesai. Iran menjadi negara berpihak pada Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT) pada tahun 1992. Namun pada tahun 2003 IAEA dalam laporannya bulan Juni mencatat bahwa Iran tidak memenuhi kewajibannya sesuai dengan Safeguard Agreements, yaitu mekanisme IAEA untuk memastikan bahwa bahan nuklir akan dialihkan ke penggunaan untuk membuat senjata nuklir. Kecurigaan bahwa Iran mulai mengembangkan senjata nuklir makin merebak.

Program Nuklir Iran

Kepemilikan senjata nuklir menempatkan negara pemiliknya pada posisi strategis. Arti penting senjata nuklir terletak pada daya hancurnya yang dahsyat dan kemampuannya berfungsi sebagai sarana pengancam (deterrence). Senjata nuklir dikembangkan untuk merespons suatu ancaman, meningkatkan kebanggaan nasional, dan mempertahankan status sebagai negara adidaya. Adalah sifat negara adidaya untuk mempertahankan status quo distribusi kekuasaan global, sehingga munculnya negara nuklir baru akan disikapi dengan curiga. Dewasa ini ada sejumlah negara pemilik senjata nuklir, yakni Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Rusia, Cina, India, Pakistan, dan Israel. Tampaknya Iran berkeinginan untuk bergabung dalam the nuclear club ini.

Program nuklir Iran diluncurkan sekitar tahun 1950 dengan bantuan dari Amerika Serikat sebagai bagian dari program Atoms for Peace. Setelah revolusi Iran pada tahun 1979, pemerintah Iran secara temporer membubarkan program ini, dan setelah itu kembali menyegarkannya dengan hanya sedikit bantuan negara-negara Barat daripada bantuan pada masa sebelum revolusi Iran. Program Iran ini termasuk pengadaan uranium, reaktor nuklir, dan fasilitas pemrosesan uranian.

Pada tahun 1968, Iran menandatangani Non-Proliferation Treaty atau NPT dan meratifikasinya pada tahun 1970. Dengan perkembangan badan atom Iran dan NPT, pimpinan Iran menyetujui rencana pembangunannya, dengan bantuan Amerika Serikat, sebanyak dua puluh tiga buah stasiun nuklir pada tahun 2000.

Hubungan Amerika Serikat – Iran

Hubungan politis yang terjadi antara Amerika Serikat – Iran dimulai ketika Syah Persia (Iran), Nassereddin Shah Qajar, mengirimkan perwakilan Iran (Persia) pertama, Mirza Abolhasan Shirazi ke Washington D.C pada pertengahan tahun 1800. Pada tahun 1883, Samuel Benjamin diutus oleh Amerika Serikat sebagai pejabat diplomatik Amerika Serikat pertama untuk Iran. Perwakilan pertama Iran untuk Amerika Serikat adalah Mirza Alobohassan Khan Ilchi Kabir.

Hubungan politis antara Amerika Serikat dan Iran sendiri diwarnai dengan beberapa pembabakan yang terdiri dari politik perminyakan (periode tahun 1950an), pemerintahan Carter (tahun 1977-1979), revolusi tahun 1979, pemerintahan Ronald Reagan (tahun 1980), pemerintahan Clinton (1990), pemerintahan Bush yang dibagi menjadi dua fase yang berlangsung hingga sekarang.

Konflik Amerika Serikat-Iran : Seputar Pengembangan Program Nuklir Iran

Isu senjata nuklir masih jadi isu panas terutama dengan terjadinya konflik antara Iran dan Amerika Serikat. Iran menegaskan bahwa program pengayaan uranium yang dilakukannya ditujukan untuk pembangkit listrik, sementara Amerika Serikat bersikeras menuding Iran tengah berupaya mengembangkan senjata nuklir.

Menurut Amerika Serikat, Iran tidak memiliki kebutuhan mendesak akan sebuah pembangkit listrik tenaga nuklir. Sebagai negara yang juga ikut menandatangani dan meratifikasi Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) atau perjanjian untuk tidak menyebarluaskan senjata nuklir dan teknologi pembuatannya. Iran sebenarnya memiliki hak yang dijamin oleh perjanjian tersebut untuk mengembangkan sebuah pengadaan energi dari reaksi nuklir. Namun, pengadaan energi ini harus berada di bawah pengawasan Badan Tenaga Atom Internasional (International Atomic Energy Agency, lAEA). Teknologi yang dikembangkan untuk memperoleh energi demi kepentingan sipil dan militer memang berbeda dan LAEA bertujuan untuk membatasi program seperti pengayaan Uranium agar tidak mencapai tingkat yang dapat digunakan untuk pembuatan senjata nuklir.

Sepanjang kepemilikan nuklirnya, Iran dianggap Amerika Serikat melakukan kebohongan atau sengaja menyembunyikan pengembangan nuklir tersebut. Pada bulan Mei 2003, Delegasi Iran di Komite Persiapan NPT menyatakan bahwa mereka menganggap bahwa mendapatkan, mengembangkan dan menggunakan senjata nuklir adalah tidak manusiawi, tidak bermoral. illegal dan bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar kami. Senjata nuklir tidak ada tempat di doktrin pertahanan Iran”. Dikatakan bahwa kecurigaan tentang kerahasiaan di pabrik nuklir di Natanz dan Arak sangat tidak berdasar dan irasional. Pada tanggal 6 Agustus 2003, Presiden Khatami menyatakan bahwa Iran tidak bisa menggunakan senjata nuklir karena ajaran-ajaran Islam dan moral. Iran sampai sekarang selalu menegaskan bahwa Iran berdasarkan pada NPT mempunyai hak untuk menggunakan tenaga nuklir untuk tujuan damai.

Pandangan pemerintah Amerika Serikat dan beberapa negara utama di Eropa bahwa tujuan utama Iran bukanlah untuk mengembangkan sumber tenaga listrik, namun lebih kepada senjata nuklir. Mereka memberikan contoh dengan banyak aktivitas nuklir yang selama dua dekade terakhir ini merupakan pelanggaran terhadap persyaratan dan kewajiban yang tertera dalam Non-Proliferation Treaty. Menurut majalah The Economist, “bahkan sebelum pemilihan Presiden Mahmoud Ahmadinejad, Iran melakukan negosiasi dalam ketidakjujuran. Sepanjang periode ini pemerintah Eropa percaya bahwa, ketidakjujuran ini akan terus berlangsung dalam penelitian nuklir, yang dapat meningkatkan pengayaan nuklir.

Namun pada tanggal 12 September 2003 Board of Governors IAEA mengeluarkan resolusi yang menyerukan agar Iran menghentikan semua kegiatan pengayaan uranium (uranium enrichment) dan pemrosesan ulang. Dari tahun ke tahun berikutnya masalah nuklir dan kecurigaan terhadap ambisi senjata nuklir Iran makin meningkat. Tuduhan AS mengenai ambisi nuklir Iran dan tuntutan AS agar Iran menghentikan proses pengkayaan uranium ini juga meningkatkan ketegangan antara AS dan Iran. Presiden Bush menyatakan bahwa AS memprioritaskan diplomasi, tetapi opsi penggunaan kekerasan untuk menyerang fasilitas nuklir Iran tetap terbuka bagi AS. AS tetap menolak untuk bicara langsung dengan Iran sebagai cara untuk menyelesaikan masalah nuklir Iran.

Oleh karena itu, melalui bantuan tiga Negara Eropa, yaitu Inggris, Prancis dan Jerman (yang disebut E3) diupayakanlah dialog dengan Iran untuk meminta Iran membekukan kegiatan pengkayaan uranium. Dan sebagai imbalannya, Iran akan diberikan bahan bakar nuklir. Upaya E3 tersebut, yang terakhir berlangsung pada tanggal 3 Maret 2006, pada akhirnya menemui jalan buntu. Khawatir tentang lajunya program nuklir Iran, DK PBB pada tanggal 31 Juli 2006 mengeluarkan resolusi yang meminta agar Iran menghentikan kegiatan pengkayaan nuklir and pemrosesan kembali. Menghadapi ini Presiden Ahmadinejad mengatakan bahwa DK PBB tidak punya legitimasi dan keputusannya adalah “illegitimate“.

Pada tanggal 12 November 2006 juru bicara Kemlu Iran menyatakan bahwa Iran merencanakan untuk membangun 3,000 centrifuge pengkayaan uranium pada bulan Maret 2007. Pada tanggal 23 Desember 2006 DK PBB kembali mengadopsi resolusi yang lebih keras lagi dengan resolusi 1734, kali ini dengan suara bulat, yang memuat sanksi berat dan ekstensif terhadap Iran. Resolusi ini mengenakan sanksi pada Iran dalam kaitan dengan perdagangan bahan dan teknologi nuklir yang sensitif sebagai upaya menghentikan pengkayaan uranium yang bisa digunakan untuk membuat bom nuklir. Baru-baru ini dilaporkan bahwa pada tanggal 26 Januari 2007 yang lalu pejabat-pejabat PBB menyatakan, bulan Februari Iran akan memulai pembangunan fasilitas pengkayaan uranium di bawah tanah untuk menghasilkan bahan yang akan dapat dipakai untuk untuk membuat senjata nuklir. Menghadapi situasi ini EIBaradei sebagai Dirjen IAEA menyerukan suatu peringatan dalam masalah nuklir ini, yaitu Iran membekukan program nuklirnya, dan untuk sementara DK PBB untuk sementara menghentikan pelaksanaan sanksi terhadap Iran.

Pada gilirannya ancaman terhadap keamanan dan stabilitas kawasan jelas akan meningkat pula. Situasi makin memburuk oleh ancaman Israel terhadap Iran bahwa opsi serangan terhadap instalasi-instalasi nuklir Iran tetap terbuka, dan pengakuan yang seolah-olah tidak sengaja oleh PM Israel Ehud Olmert bahwa Israel adalah Negara nuklir. Situasi demikian jelas akan mendorong suatu perlombaan senjata nuklir di kawasan. Keamanan dan stabilitas kawasan juga akan dapat diperparah dengan kebijakan Pemerintah Bush untuk menyerang kantor perwakilan Iran di Baghdad dan menangkap diplomat-diplomat Iran dan tekadnya untuk menangkap apa yang dikatakan sebagai agen-agen Iran di Irak.

Kebijakan AS merupakan langkah provokatif yang dapat mendorong konflik

langsung dengan Iran. Tenggat waktu 60 hari yang ditetapkan oleh resolusi DK PBB 1737 bagi Iran untuk memenuhi tuntutan DK PBB agar Iran menghentikan pengkayaan

uranium akan jatuh pada bulan depan. Jika Iran tidak memenuhi tuntutan ini, besar kemungkinan DK PBB akan keluar dengan resolusi baru yang akan memperkuat sanksi terhadap Iran. Pada tahap sekarang ini sulit diharapkan Iran akan memenuhi tuntutan DK PBB tersebut. Perkembangan ini akan berdampak buruk terhadap keamanan dan stabilitas kawasan.

Ancaman Amerika Serikat Terhadap Iran

Dua puluh lima tahun setelah pelajar Iran menjadi diplomat untuk Amerika, Iran dan Amerika Serikat berada pada situasi potensial untuk berkonfrontasi serius dalam permasalahan bom nuklir. Iran mengatakan bahwa mereka mengembangkan energi nuklir hanya untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga listrik dan memiliki hak untuk memiliki manufaktur tenaga reaktor. Amerika Serikat telah mewakilkan negosiasi dengan aliansinya yaitu Eropa, yang telah mengendalikannya secara perlahan namun tidak benar-benar memberhentikan kendali nuklir Iran. Israel, yang juga menentang reaktor Irak pada tahun 1981 ketika Irak memulai program serupa, telah mengancam tidak akan menoleransi nuklir Iran, yang juga disampaikan oleh Presiden Amerika Serikat George W.Bush.

Iran menjadi prioritas utama sebagai bahan pertimbangan untuk sedikitnya tiga buah alasan :

· Nuclear Proliferation. Estimasi Amerika Serikat tentang berapa lama waktu yang dibutuhkan oleh Iran untuk bisa mengembangkan senjata nuklir adalah dalam kisaran waktu satu sampai empat tahun, dan ini dianggap ancaman paling dekat.

· Irak. Iran, yang memiliki batasan wilayah yang saling berbagi dengan Irak, telah menutup pertalian dengan kelompok Shiite Irak yang dapat menjelaskan masa depan politis Irak.

· Terorisme. Iran mendukung Hizbullah dan kelompok anti-Israel lainnya yang telah melancarkan sejumlah serangan dan pemboman di Israel. Iran juga mengatakan melindungi anggota jaringan Al-Qaeda yang kabur dari Afghanistan. Menghadapi ini, Iran menginginkan Amerika Serikat untuk tidak melindungi kelompok oposisi Iran yang berbasis di Irak.

Presiden Amerika Serikat, George W.Bush melakukan penekanan untuk segera memulai konfrontasi dengan Iran di PBB dengan mendesak International Atomic Energy Agency (IAEA), pengawas nuklir PBB, untuk mengirimkan kasus Iran ke Dewan Keamanan PBB meskipun Iran berjanji tidak akan memproduksi bahan bakar nuklir. Dewan Keamanan dapat menjatuhkan sangsi terhadap Iran. IAEA akan mempertimbangkan isu pada 25 November, dimana Iran telah melakukan pengayaan uranium, bahan bakar nuklir, untuk beberapa tahun tapi mengancam untuk menggunakannya.

Namun tindakan Dewan Keamanan tidak terlalu berarti. Alternatifnya adalah penggunaan kekerasan yang belum tentu efektif dan dapat meledak sebelum waktunya. Menghapuskan program nuklir akan sangat sulit apabila tidak memungkinkan, karena itu berarti membubarkan fasilitas di Iran dan banyak infrastruktur bawah tanah. Serangan udara dapat memperlambat progres di Iran, tapi biayanya tentu akan sangat tinggi. Pemerintahan Islam garis keras di Iran telah memperingati bahwa serangan apapun di Iran akan memprovokasi respons kekerasan, dan Amerika Serikat akan menghadapi banyak resiko di wilayah tersebut, dengan pasukannya yang berperang secara meningkat juga di Irak.

Pada masa generasi sebelum krisis sandera pada tahun 1979, Iran dan Amerika Serikat merupakan sekutu yang dekat. Pada tahun 1953, CIA menggulingkan pemerintah terpilih yang menasionalisasikan industri minyak, dan memasangkan pimpinan monarki yang pro terhadap Amerika, Shah Mohammed Reza Pahlevi.

Pernyataan dalam Piagam UNESCO bahwa karena peperangan dimulai dari benak manusia, maka perdamaian juga harus dibangun dari benak manusia, ingin menegaskan pentingnya diplomasi melalui dialog dalam menciptakan perdamaian internasional. Merupakan sebuah keanehan ketika tiga puluh lima Dewan Gubernur IAEA (International of Atomyc Energy Association) menyerahkan masalah nuklir Iran terhadap Dewan Keamanan PBB, dan sepekan kemudian Amerika Serikat (AS) mulai menyusun rencana serangan militer untuk menghancurkan fasilitas nuklir Iran. Padahal IAEA bersepakat untuk menunda sanksi Dewan Keamanan PBB selama sebulan untuk memberikan kesempatan terhadap diplomasi Rusia.

Tindakan AS ini seakan-akan menegaskan bahwa sanksi militer akan diterapkan di Iran meskipun masih banyak alternatif sanksi lain yang lebih manusiawi. Indikator bahwa AS memang memiliki rencana untuk melakukan opsi militer terhadap Iran setidaknya ada dua alasan mengapa AS bernafsu memulai secara dini opsi militer terhadap Iran, yaitu :Pertama, AS merasa bahwa diplomasi yang ditawarkan oleh Rusia terhadap Iran tidak akan berhasil. Selama ini Iran ‘dinilai’ tidak komunikatif (keras kepala) terhadap AS dan Uni Eropa mengenai transparansi program nuklirnya. Penolakan Iran untuk memperkaya uraniumnya di Rusia semakin memperkuat argumen AS bahwa Iran benar-benar mengembangkan nuklirnya untuk kepentingan militer. Kedua, jika Iran bersepakat dengan usulan Moskow, tetap saja hal ini tidak menguntungkan bagi AS. Pengayaan uranium Iran di Rusia justru menyulitkan AS untuk mengontrol program nuklir Iran. Dalam konteks ini, kepercayaan AS terhadap Rusia lemah. Dalam perang Irak – Iran, Rusia adalah sekutu Iran. Hal ini berlawanan dengan AS yang membantu Irak. Indikasi ini muncul ketika AS menilai Rusia dan Cina cenderung lamban dalam menentukan sikap terhadap program nuklir Iran.Berdasarkan kedua alasan tersebut di atas, apapun hasil diplomasi antara Rusia dan Iran, AS akan tetap menuntut untuk penghapusan program nuklir Iran. Sikap keras Washington dimungkinkan untuk menguatkan posisi Israel sebagai satu-satunya negara di Timur Tengah yang memiliki persenjataan nuklir. Dalam jangka panjang, hal ini akan menguatkan hegemoni AS di kawasan tersebut.

Rapor merah PBB dalam menyikapi invasi AS terhadap Irak dan Afganistan seharusnya menjadi cermin bagi Iran dalam menghadapi arogansi AS pasca 11 September 2001. Rusia dan Perancis walaupun menolak, namun tidak menggunakan hak vetonya untuk menghentikan invasi tersebut. Sedangkan Cina memilih abstain. Artinya walaupun negara-negara tersebut bersebrangan dengan AS namun mereka menyatakannya dengan menahan diri. Sebagai penyumbang biaya operasional terbesar bagi PBB, AS tidak mendapat sanksi apapun. Apalagi dalam kasus Iran, AS pernah dikecewakan PBB yang gagal membebaskan lima puluh tiga warga Amerika yang disandera oleh kaum militan Iran pada tahun 1980. Walaupun pada waktu itu, pemerintah baru di Iran yang bertanggung jawab atas masalah tersebut telah terbentuk.

Kemesraan AS dan PBB bukannya tanpa ganjalan. Sejak pertengahan perang dingin, dominasi AS di PBB mulai mendapat perlawanan dari negara-negara dunia ketiga. Salah satu kasus yang paling penting adalah penghentian konstribusi AS terhadap anggaran UNESCO pada tahun 1974. Kondisi ini dipicu oleh resolusi UNESCO yang menghendaki pengeluaran Israel dari kelompok regional Eropa. Tindakan AS ini dikecam oleh dunia internasional, bahkan banyak program PBB yang kritis terhadap AS. Sejak saat itu, PBB digunakan oleh negara-negara dunia ketiga untuk menggalang anti-Amerikanisme global walaupun secara keseluruhan AS masih dominan.

Vonis IAEA bahwa Iran melanggar NPT (Non Proliferation Nuclear Treaty) patut disayangkan. Sejak awal diberlakukannya, NPT sebenarnya ambivalen. Sebab negara-negara yang memiliki senjata nuklir tidak memusnahkan persenjataan nuklirnya. Hal ini justru memicu perkembangan alamiah militer negara-negara di dunia pada kapasitas senjata nuklir (balance of power). Jika memang NPT ditujukan untuk perdamaian sejati, seharusnya semua negara harus memusnahkan senjata nuklir. Selain itu, IAEA dan PBB cenderung tidak konsisten. Israel dan India yang secara terang-terangan memiliki senjata nuklir cenderung ‘immune‘ terhadap NPT. Maksudnya adalah tidak ada sikap yang tegas terhadap negara-negara yang tidak meratifikasi NPT. Hal ini dimungkinkan sebab AS memprioritaskan determinasi untuk mengembangkan hubungan kooperatif dengan major power di dunia. Oleh sebab itu dapat dimaklumi jika India cenderung mengamankan posisinya dengan memihak suara mayoritas dalam kasus nuklir Iran. Inkonsistensi ini menunjukkan bahwa IAEA dan PBB mulai menjauh dari fungsi idealnya. Dalam kasus ini, IAEA akhirnya hanya menjadi tangan kanan AS untuk melucuti persenjataan Iran, kemudian Dewan Keamanan PBB yang menyelesaikannya.

Kuatnya pengaruh AS dan tidak adanya negara penyeimbang dalam kedua organisasi internasional tersebut mengindikasikan bahwa invasi AS terhadap Iran sangat mungkin terlaksana. Memang kita juga tidak boleh menafikan bahwa ada kemungkinan rencana penyerangan tersebut adalah strategi AS untuk menggertak Iran agar lebih melunak dalam diplomasi dengan AS dan Uni Eropa. Asumsinya adalah AS masih memusatkan perhatiannya dalam stabilitas keamanan di Irak dan Afganistan. Namun kasus Irak setidaknya menjadi refleksi empiris bagi Iran bahwa tanpa mandat PBB dan dukungan internasional pun AS tetap melakukan invasi walaupun senjata pemusnah massal yang dijadikan alasan tidak ditemukan. Seperti argumentasi kaum fungsionalis: perang merupakan produk sistem internasional yang diorganisir secara kasar. Kecenderungan AS yang ‘gemar’ melakukan opsi militer dalam menyelesaikan konflik internasional telah menempatkan Iran dalam posisi yang tidak menguntungkan.

Resolusi Dewan Keamanan PBB dan Nuklir Iran

Resolusi 1696. Pada tanggal 31 Juli 2006, Dewan Keamanan PBB memenangkan voting 14-1 untuk mengeluarkan Resolusi 1696 Dewan Keamanan PBB, yang diberikan pada Iran hingga 31 Agustus 2006, untuk memenuhi permintaan IAEA tentang nuklir. Pada tanggal 22 Agustus 2006, Iran memberikan jawaban forman terhadap permintaan yang diajukan pada tanggal 6 Juni dari negara-negara yang dikenal sebagai six powers. Tulisan daripada jawaban Iran tidak tertutup, namun hal ini dilaporkan tidak meminta untuk melakukan pengayaan uranium, dengan melakukan negosiasi yang lebih luas dengan pihak Barat.

Resolusi 1737. Dengan dukungan P5+1, pimpinan negosiator Uni Eropa Javier Solana bernegosiasi dengan Iran untuk mencoba mengatur suspensi pengayaan yang temporer. Lalu diadakan perundingan di Berlin, yang dilakukan pada 28 September 2006 tanpa menghasilkan kesepakatan. Setelah hampir empat bulan melakukan negosiasi dimana Rusia dan China berpendapat bahwa diplomasi dengan Iran akan memberikan hasil yang lebih baik daripada memberikan sangsi, sehingga Dewan Keamanan PBB sepakat untuk mengeluarkan Resolusi DK PBB 1737.

Resolusi 1747 dan Hasilnya. Resolusi 1737 meminta penghapusan pengayaan pada 21 Februari 2007. Laporan IAEA yang dikirimkan ke negara-negara anggota tetap melakukan aktivitas pengayaannya. Maka pada 8 Maret 2007, melalui diskusi formal disepakati bahwa Iran akan dijatuhkan sangsi.

Aplikasi Teori Konflik : Konflik Amerika Serikat-Iran

Konflik yang terjadi antara Amerika Serikat dan Iran ini bisa ditinjau dari berbagai sudut teori konflik. Berdasarkan definisi konflik yang diberikan oleh Simon Fisher bahwa konflik merupakan hubungan antara dua pihak atau lebih (individu, kelompok negara) yang memiliki atau yang merasa memiliki sasaran yang tidak sejalan, dapat dilihat pada konflik yang terjadi antara Amerika Serikat dan Iran bahwa dimana Amerika Serikat mengalami perbedaan sasaran dan pemikiran yang tidak sejalan. Amerika Serikat sebagai salah satu negara adikuasa yang merasa memiliki kekuatan untuk menjadi polisi dunia pada saat ini, perlu memperingati Iran yang dianggap memberikan ancaman dengan menggunakan nuklir (walaupun diklaim hanya untuk pemenuhan kebutuhan akan energi listrik) kepada dunia.

Sementara itu, definisi konflik dari Andrew Heywood bahwa konflik merupakan kompetisi antar kekuatan yang berlawanan yang merefleksikan keberagaman pendapat, preferensi, kebutuhan dan kepentingan, digambarkan dalam konflik Amerika Serikat-Iran bahwa Amerika Serikat merasa bahwa Iran mulai berani menyaingi negara-negara pemilik nuklir untuk menunjukan eksistensinya sebagai sebuah negara yang ingin diakui di dunia. Sementara Amerika Serikat berpendapat bahwa kepemilikan nuklir Iran adalah hal yang ilegal, Iran berpendapat bahwa kepemilikan nuklir adalah hak sebuah negara.

Berdasarkan faktor-faktor penyebab terjadinya konflik yang telah dikemukakan di awal penulisan, salah satunya konflik Amerika Serikat-Iran memenuhi faktor yang pertama yaitu konflik disebabkan oleh ambisi untuk menunjukkan eksistensi dan pamer kekuatan (power showing). Dalam hal ini menurut analisis dari penulis, Iran berusaha menunjukan eksistensinya sebagai salah satu negara Timur Tengah yang mampu memiliki teknologi nuklir dan dikatakan oleh presiden Mahmoud Ahmadinejad bahwa mereka bisa maju tanpa dukungan Amerika Serikat. Iran menyatakan bahwa pihak yang sudah menciptakan suasana dan situasi tertentu terhadap Iran sebaiknya mengubah perilaku karena bangsa Iran tidak akan pernah mengalah kepada tekanan seperti itu. Jika Amerika Serikat mengubah perilaku dan menghormati hak-hak bangsa lain, maka pastinya situasi akan berubah dan tidak perlu lagi penengah, meski Iran belum pernah meminta hal itu. Sebagai bangsa yang bebas, rakyat Iran telah memutuskan membela hak-hak sah mereka dalam memanfaatkan energi nuklir secara damai.

Menurut kaum tradisionalis, sebuah konflik dianalisis dalam tataran makro yang fokus perhatiannya tertumpu pada analisis interaksi antarkelompok. Asumsi umum yang dimiliki oleh kaum tradisionalis adalah bahwa akar konflik berasal dari persaingan kelompok dan pengejaran kekuasaan dan sumber-sumber.

Berdasarkan perspektif tradisionalis, dalam hal ini menempatkan Iran sebagai sebuah kelompok atau kubu dan Amerika Serikat di kelompok atau kubu lainnya, melihat bahwa konflik yang terjadi antara dua kelompok ini disebabkan oleh faktor-faktor seperti perbedaan kepentingan, pendapat, dan sasaran. Awal tahun 2007 babak baru perseteruan antara Amerika Serikat (AS) dan Iran dimulai kembali. Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dimotori AS secara aklamasi mulai menerapkan sanksi bagi Iran yang berisi larangan perdagangan material nuklir. Sanksi tersebut diambil setelah Iran menolak untuk menghentikan program pengayaan uranium yang dicurigai Barat, khususnya AS, untuk mengembangkan persenjataan nuklir. Menanggapi sanksi DK PBB tersebut, pemerintah Iran kembali menyatakan bahwa program nuklirnya hanyalah untuk kepentingan sipil. Lebih lanjut, Iran kembali mengulangi ancamannya akan menggunakan senjata apa pun untuk mempertahankan diri, termasuk ekspor minyak, sebagai senjata dalam menghadapi tekanan internasional terhadap program nuklir Iran.

Resolusi Konflik Amerika Serikat – Iran

Berdasarkan tahapan-tahapan resolusi konflik, dapat ditinjau dalam kasus konflik Amerika Serikat – Iran ini bahwa prosesnya memenuhi tahapan-tahapan resolusi konflik. Tahapan-tahapan tersebut terdiri dari :

· Tahap Pertama : Mencari De-eskalasi Konflik

Konflik yang terjadi seputar kepemilikan nuklir yang terjadi antara Amerika Serikat dan Iran berulang kali mengalami ketegangan dan kembali mencapai de-eskalasi konflik. Seperti kebijakan Amerika Serikat dalam menangani kasus Iran, yang tetap mengutamakan diplomasi daripada penggunaan kekerasan, karena setelah dipertimbangkan, penggunaan kekerasan akan lebih banyak menimbulkan kerugian. Dalam kondisi ini ketidakstabilan ini masih dapat dikendalikan sehingga yang terjadi hanya bentuk ancaman saja, oleh karena itulah tahapan kedua yaitu intervensi kemanusiaan dan negosiasi politik bisa dilakukan.

· Tahap Kedua : Intervensi Kemanusiaan dan Negosiasi Politik
Setelah de-eskalasi konflik terjadi, maka tahap kedua proses resolusi konflik dapat dimulai bersamaan dengan penerapan intervensi kemanusiaan untuk meringankan beban penderitaan korban-korban konflik. Negosiasi politik dilakukan dengan bantuan pihak luar diluar Amerika Serikat dan Iran, dalam hal ini negara-negara Eropa, dan juga intervensi Dewan Keamanan PBB, untuk dapat mencari jalan keluar dari konflik yang terjadi antara Amerika Serikat dan Iran ini. Dapat dikatakan bahwa tahap ini kental dengan orientasi politik yang bertujuan untuk mencari kesepakatan politik (political settlement) antara Amerika Serikat dan Iran.

· Tahap Ketiga : Proses dengan melakukan Pendekatan Problem-solving
Tahapan ketiga dari proses resolusi konflik adalah problem-solving yang memiliki orientasi sosial. Tahap ini diarahkan menciptakan suatu kondisi yang kondusif bagi pihak-pihak antagonis untuk melakukan transformasi suatu konflik yang spesifik ke arah penyelesaian. Dalam konflik yang terjadi antara Amerika Serikat-Iran, masih sangat sulit untuk dapat mencapai tahapan ini, karena masih belum ditemukan kesepakatan yang dapat memenuhi kepentingan dan harapan kedua belah pihak.

· Tahap 4 : Usaha-usaha Yang Diarahkan pada Peace-building
Pada masa sekarang ini, tahapan keempat belum dapat dicapai dalam konflik yang terjadi antara Amerika Serikat dan Iran.

Kesimpulan

Conflict resolution atau resolusi konflik lahir atas dasar bagaimana manusia sebagai makhluk yang hidup secara sosial memiliki tuntutan untuk dapat saling menjunjung tinggi hak asasi manusia. Conflict resolution atau resolusi konflik ini sendiri muncul setelah bermunculannya konflik, yang berakibat pada terjadinya peperangan, kekerasan dan berjatuhannya korban. Pada dasarnya, manusia sebagai makhluk sosial berpotensi untuk berkonflik, karena adanya perbedaan, kompetisi, dan kepentingan dari banyak pihak yang terlibat.

Resolusi konflik sendiri dilakukan dalam empat tahap. Tahap pertama masih didominasi oleh strategi militer yang berupaya untuk mengendalikan kekerasan bersenjata yang terjadi. Tahap kedua memiliki orientasi politik yang bertujuan untuk memulai proses re-integrasi elit politik dari kelompok-kelompok yang bertikai. Tahap ketiga lebih bernuansa sosial dan berupaya untuk menerapkan problem-solving approach, sementara tahap terakhir bertujuan untuk melakukan perombakan-perombakan struktur sosial-budaya yang dapat mengarah kepada pembentukan komunitas perdamaian yang langgeng.

Dalam mengusahakan penyelesaian atau resolusi konflik yang terjadi antara Amerika Serikat dan Iran ternyata baru mencapai tahapan negosiasi politik, dimana masih mencari-cari kesempatan untuk bisa bersepakat tentang hal-hal yang menjadi masalah sehingga terciptanya konflik tersebut.

Saran

Dalam penyelesaian konflik yang terjadi antara Amerika Serikat dan Iran, ada beberapa kiranya sumbang pikiran yang dimiliki penulis, yaitu :

  1. Peningkatan peran PBB dan badan-badan berwenang, tanpa adanya dominasi Amerika Serikat, untuk membantu penyelesaian masalah antara Amerika Serikat dan Iran.
  2. Resolusi terhadap konflik Amerika Serikat-Iran akan memerlukan waktu lama dan merupakan sebuah proses panjang, sehingga dalam penanganannya membutuhkan keseriusan dari banyak pihak.
  3. Perlunya sebuah kesepakatan, aturan, serta sangsi yang lebih jelas dan dapat melingkupi seluruh negara di dunia, tentang kepemilikan serta penggunaan teknologi nuklir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tolong Kritik dan Sarannya ya...