Selasa, 12 Oktober 2010

Ujung Kulon Ku Yang Mengagumkan

Tulisan ini ditulis kembali dari jurnal pribadi Nismadha (M-666-UI) yang melakukan perjalanan ke Ujung Kulon bersama teman-teman dari FISIP UI pada bulan September 2003.

Katanya kalau kita ke Ujung Kulon maka kita akan menyembah Dewa Matahari. Awalnya saya bingung tetapi setelah mengalami perjalanan 19 km yang ditempuh selama 5 jam menyusuri pantai berpasir putih ditemani matahari, matahari dan hanya matahari barulah saya mengerti apa maksud pernyataan itu.

Rombongan Mahasiswa FISIP UI kerap membuat acara jalan-jalan ke Ujung Kulon. Bersama dengan beberapa teman dari Mapala UI (Tajid, Tegar dan Dodot) saya ikut perjalanan mereka kali ini. Rombongan anak FISIP sendiri berjumlah 15 orang.

Perjalanan ini kami mulai pada tanggal 2 Agustus 2003. Rombongan berangkat dari Depok langsung dengan target Desa Taman Jaya. Desa Taman Jaya merupakan salah satu pintu masuk ke Taman Nasional Ujung Kulon. Perjalanan hari pertama ini memakan waktu sekitar 10 jam dengan melewati Propinsi Banten dari ujung Timur sampai ke ujung Barat.

Kami tiba di Labuan setelah lebih kurang 3 jam berada dalam bis yang mengangkut kami dari Kalideres, rasa penat belum hilang tetapi kami harus segera melanjutkan perjalanan dengan mobil jenis L 300 yang kami carter.

Malam ini kami bermalam di Guest House di Desa Taman Jaya. Kondisi Guest House tempat kami bermalam amat memprihatinkan karena dinding, atap dan lantai kayu mulai jebol di beberapa tempat. Guest House ini juga menyediakan seekor kodok yang menjadi teman kami mengisi malam yang sunyi.

Angin laut dan bintang-bintang di langit menemani kami makan malam. Janji keindahan alam yang akan kami jumpai esok hari membuat kami tak sabar menunggu perjalanan esok hari.

Wow…hari pertama saja sudah begini…
Karang Ranjang menjadi target kami di hari kedua perjalanan. Perkiraan jarak dari Taman Jaya ke Karang Ranjang sekitar 8 km. Rute perjalanan kami melewati sawah, desa, hutan bakau dan hutan kayu. Medan yang relatif datar membuat perjalanan ini tidak terlalu sulit walaupun beban di ransel masih sangat berat.

Pos Karang Ranjang terletak tidak jauh dari pantai, kondisi pos agak kotor tetapi secara umum masih bagus. Sore harinya kami sempat menyaksikan sunset. Tentu saja momen indah ini tidak kami lewatkan begitu saja. Matahari yang tenggelam sedikit demi sedikit di ujung laut, terlihat bagaikan seorang puteri jingga yang malu dan harus segera kembali tidur.

Setelah terpesona oleh keindahan sunset sore itu, kami segera kembali ke basecamp untuk menyiapkan makan malam. Hari ini jumlah rombongan bertambah satu orang yang menjadi guide sekaligus porter kami. Pak Mista menjadi anggota keluarga besar kami mulai dari Karang Ranjang.

Salah satu keuntungan dari jalan-jalan di Ujung Kulon ini adalah tersedianya sumber air tawar di tiap pos pemberhetian (kalo tidak sedang kering tentunya) di Pos Karang Ranjang terdapat sebuah sumur kecil dan tempat mandi yang lumayan nyaman.

Hari ketiga yaitu rute dari Karang Ranjang menuju ke Cibunar merupakan hari paling bersejarah sepanjang karir jalan-jalan saya. Awal perjalanan dari Karang Ranjang sampai di Cibandawoh kami lewat hutan di atas tebing dengan pemandangan laut dikejauhan. Keluar dari hutan kami langsung berjalan di pasir pantai yang lembut menuju ke Pos Cibandawoh untuk makan siang.

Perjalanan lintas pantai ini baru terasa ketika kami mulai perjalanan dari Cibandawoh menuju ke Cibunar. Kami harus berjalan di atas pasir lembut yang masuk sampai 5 cm kalau diinjak, sehingga dibutuhkan tenaga ekstra untuk mengangkat kaki lagi. Sejauh mata memandang yang terlihat hanya pantai, pantai dan pantai. Rencana perjalanan kita hari ini adalah menyusuri pantai sampai di Citandahan kemudian baru berjalan dipadang rumput menuju ke Cibunar.

Kondisi pasir pantai yang menghisap tenaga, panas yang melelehkan kepala dan target yang tak pernah kelihatan sempat membuat saya drop dan berjalan ketinggalan jauh di belakang rombongan.

Ketika pasir pantai telah terganti dengan padang rumput mulai dari Citandahan saya merasa lega karena sebentar lagi kami akan tiba di Cibunar. Ternyata, padang rumput tersebut juga tidak berakhir setelah kami jalani selama 2 jam Perasaan sebal, cape, bosan, dan ingin marah bercampur menjadi satu saat itu. Tetapi akhirnya saya sampai di rumah peristirahatan Cibunar yang bentuknya sudah tidak karuan lagi.

Untungnya, di depan rumah tersebut terbentang Samudera Hindia yang indah lengkap dengan karang-karang hitamnya yang menonjol. Karang-karang tersebut menghasilkan deburan ombak dengan buih-buih putih di sekitarnya. Muara Sungai Cibunar terdapat di sisi Timur Pos Cibunar . Muara sungai Cibunar dapat mengobati rasa lelah kami karena keesokan harinya kami dapat mandi dan berenang sepuasnya. Hari keempat di Cibunar, kami manfaatkan sebaik-baiknya dengan istirahat dan mengumpulkan tenaga untuk perjalanan berikutnya. Selain hari recovery tenaga, hari itu juga merupakan hari pengobatan untuk jari-jari beberapa orang yang bejendol berisi air ataupun lecet-lecet. Tentu saja dengan jasa baik jarum ,alcohol, plester, kain kassa dan betadin.

Pengalaman di hari ketiga membuat saya bersiap-siap untuk keadaan yang mungkin saja lebih buruk lagi pada perjalanan esok harinya. Karena itu, saat makan malam saya mempersiapkan mental dengan membuka peta dan menghitung jarak yang akan kami tempuh besok. Menu malam itu special, karena kami menyantap spagethi lengkap dengan saus dan roti perancisnya mmm….. Untung ada koki dalam kelompok ini.
Esok pagi kami akan menuju ke Sang Hyang Sirah, tempat paling ujung di sebelah Barat Laut pulau Jawa. Menuju ke Sang Hyang Sirah, kami harus melewati Gunung Payung ( 491 m) dari peta yang saya pegang terbayang kondisi jalur besok akan banyak tanjakan dan turunan yang asoy.

Esoknya hari kelima perjalanan kami memulai mendaki Gunung Payung dari belakang Pos Cibunar. Suguhan awal sudah sangat menantang, beberapa anggota rombongan bahkan ada yang memaki-maki tanjakan untuk melampiaskan rasa kesalnya. Selain itu banyak anggota rombongan yang merenung lagi sepanjang jalan, mengapa harus mengikuti perjalanan ini?

Tetapi tak disangka, perjalanan ke puncak gunung Payung dapat diselesaikan dalam waktu hanya 2 jam oleh orang yang pertama tiba di puncak. Ujian yang sebenarnya adalah ketika menuruni gunung tersebut, karena kita harus benar-benar sabar ketika menghadapi kenyataan bahwa jalurnya masih juga naik turun meskipun judulnya turun gunung. Selain masih adanya tanjakan curam juga mulai disediakan turunan yang bisa dibilang najis tralala. Ketika naik saya bisa full speed karena ransel saya banyak yang “dicolong�? isinya, tetapi ketika melihat turunan itu, saya langsung drop. Anak tangga turunan sepanjang 20 meter ke depan bisa dilihat selisih satu meter tiap anak tangganya. Untung saat itu bukan musim hujan, sehingga jalur tidak terlalu licin. Siapapun kemudian mengakui, bahwa turunan tersebut memang jahanam.

Stamina pun sudah menurun setelah seharian naik turun gunung.
Setelah mengalami turunan yang ajaib itu, sampailah kami di Sang Hyang Sirah. Sang Hyang Sirah merupakan tempat berziarah bagi sekelompok orang yang percaya bahwa di tempat itu dimakamkan kepala Prabu Siliwangi.

Dekat camp kami terdapat sebuah gua yang di dalamnya ada tumpukan batu-batu yang menyerupai makam di sinilah biasanya orang bersemedi dan memanjatkan doa-doa. Lebih masuk lagi ke dalam gua maka terdapat sebuah telaga berwarna hijau.

Tegar adalah orang pertama yangs ampai di Sang Hyang Sirah dan dia pula yang pertama masuk ke dalam gua tersebut. Ketika sedang melihat-lihat isi gua dia dikagetkan karena ada suara orang yang mendehem ternyata ada orang yang sedang bersemedi. Orang itu berperawakan kurus, berambut gondrong keriting dan berbaju hitam telah 2 bulan berada di Sang Hyang Sirah. Waktu saya mencoba masuk ke dalam gua, suasana mistis sangat terasa.

Untung saat itu saya ditemani Pak Mista yang mengajak ngobrol orang yang sedang semedi itu.
Di luar gua, tak jauh dari base camp kami, terdapat sumber air tawar yang tertampung dalam sebuah kolam kecil. Pemandangan dari base camp sangat indah, kami berada di sebuah ceruk dengan Samudera Hindia yang terbentang di hadapan kami. Di hadapan kami terdapat sebuah batu yang bentuknya menyerupai seekor gorilla dengan mulut tergangga. Ketika sunset tiba maka gambaran Gorilla yang menelan matahari dapat dengan jelas terlihat. Ombak yang menghantam karang-karang sangat ganas, tingginya mencapai 5 meteran. Kita harus berhati-hati kalau ingin sejenak berjalan-jalan di atas karang di tepi pantai. Suasana malam ini terasa sangat aneh, karena tiba-tiba saja datang rombongan penziarah yang jumlahnya lebih dari 10 orang yang melakukan pengajian di depan mulut gua.

Esoknya kami makan Escargot (semacam siput laut) yang berhasil kami kumpulkan. Escargot itu kami oleh menjadi semur yang lezat malam harinya. Satu kelebihan tempat ini lagi, di dekat base camp terdapat sebuah sungai yang ujungnya membentuk semacam spa alam selebar 5 meter. Disinilah kami bermandi-mandi ria. It just so beautiful !

Hari ini adalah hari ketujuh perjalanan dan perjuangan belum selesai. Target kami hari ini adalah Tanjung Layar yang terdapat Mercu Suar Depertemen Perhubungan. Sebelum ke Tanjung Layar, kami singgah sebentar di Cibom. Di sini terdapat pos untuk beristirahat dan papan-papan informasi yang berisi sejarah Cibom-Tanjung Layar. Disana tertulis bahwa pada tahun 1808 pemerintah Hindia Belanda sempat ingin menjadikan Cibom sebagai sebuah pelabuhan laut. Namun, karena para pekerjanya banyak yang sakit-sakitan dan akhirnya meninggal, maka banyak yang melarikan diri dari tempat itu, sehingga pembangunannya tidak pernah terselesaikan. Sedangkan Tanjung Layar saat itu merupakan penjara bajak laut yang membantu sultan. Diperkirakan, saat itu pulalah mercu suar yang pertama dibangun. Mercusuar yang kedua hancur akibat letusan Krakatau tahun 1883, dan mercu suar yang ketiga adalah yang masih berdiri sampai sekarang. Di pantai Cibom ini kami masih bisa melihat bekas tanggul-tanggul dermaga.

Di perjalanan menuju Tanjung Layar, saya sedikit ngeri karena terbawa sejarah tempat ini yang baru saya baca. Meski jaraknya tidak terlalu jauh –hanya 15 menit jalan kaki- , namun seolah jalan setapak itu tidak berujung, apalagi saat itu saya sendirian. Lorong dari batang pohon yang menakjubkan tidak berhasil memperlambat langkah kaki saya untuk segera tiba di kantor mercu suar. Saya agak lega ketika bangunan mercu sura sudah terlihat, di sebelah kanan jalan setapak yang saya lalui terhampar kuburan dan sumur tua yang umurnya sama dengan mercusuar pertama. Hari sudah sangat senja, suasana semakin mencekam, setengah berlari saya menuju rombongan yang sudah tiba duluan. Meski sedikit berkeringat dingin, setibanya di kantor saya langsung melepas ransel dan langsung menaiki mercusuar setinggi 30 meter. Dari atas mercusuar, pemandangan benar-benar indah. Kita bisa melihat reruntuhan mercusuar yang pertama di sebelah Utara, dan sisanya adalah hutan hijau, pantai karang dan laut biru nan luas. Indah sekali. Angin pantai yang sangat dingin di senja ini tidak mampu mengusir saya untuk segera turun , saya tunggu sampai sunset berlalu.
Pada saat kami tiba, Mercusuar dijaga oleh dua orang pegawai Departemen Perhubungan yaitu Pak Suwarno dan Pak Suharno. Terbayang beratnya tugas yang mereka pikul, jauh dari keluarga di tempat terpencil.
Esoknya kami menuju tempat peristirahatan terakhir di wilayah Ujung Kulon, yaitu pulau Peucang. Kami berjalan kembali menuju Cibom kemudian meneruskan perjalanan menuju ke Cidaon. Sebelum menyeberang ke Pulau Peucang , kami harus mengibarkan bendera kepada petugas resort di Peucang minta dijemput dengan kapal.

Bayangan tentang pulau Peucang dengan sebuah resort yang sangat nyaman, harus melayang ketika kami menjejakkan kaki di pulau tersebut dan mendapatkan bahwa, “God, this resort needs help?. Resort yang mungkin beberapa tahun yang lalu masih sebagus di brosur, kini terlihat usang termakan usia, tidak terawat dan menyedihkan. Itulah kesan pertama yang muncul di benak kami ketika melihat barak tempat kami menginap malam itu. Monyet-monyet dan menjangan yang kelaparan berkeliaran di sekitar barak.
Untunglah lagi-lagi keindahan alam menjadi pengobat rasa lelah yang telah menderu 8 hari ini. Pulau Peucang dengan dermaga dan pasir putihnya yang begitu halus, menjadi saksi bisu betapa kami lega telah dengan selamat menyelesaikan perjalanan yang panjang ini. Indahnya pemandangan laut dari dermaga di malam hari, membuat beberapa anggota rombongan sempat berfikir untuk membawa pasangannya sekali-kali kesini. Ditambah lagi suhunya yang dingin dan langitnya yang hitam kelam bertaburan bintang, membuat suasana romantis semakin tercipta.

Jalan-jalan ke Ujung Kulon memang menyenangkan dan tak terlupakan dengan segala keindahan alamnya yang terpampang walaupun itu semua harus ditebus dengan perjuangan berat.
Esok pagi, kami semua harus kembali ke kehidupan nyata. Ke kantor, ke kampus, ke organisasi, ke kantin. Nongkrong bersama teman-teman sudah kami rindukan meskipun memang terkadang menjemukan. Rutinitas harus kembali dijalani demi menyambung hidup. Selamat tinggal Ujung Kulon, selamat tinggal badak bercula satu yang tidak pernah kami jumpai, selamat tinggal mercu suar, selamat tinggal pasir putih, selamat tinggal dewa matahari… 

Sumber: Mapala UI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tolong Kritik dan Sarannya ya...